Sunday, June 03, 2007

Peninggalan sejarah tionghoa sangat menyentuh hati.

Peninggalan sejarah tionghoa sangat menyentuh hati.
Panas terik tidak sama sekali membuat kami berjerit.
Berkumpul di Mc Donald gajah mada jam sepuluh pagi.
Molor sampai jam dua belas siang baru jalan.

Empat kendaraan satu persatu kami tumpangi.
Bersama Alex, Jerry, dan Wahyu dari JTM.
Ditanggapi oleh kepiawaian beberapa rekan dari Tnet dan Budaya tionghoa.
Membuat suasana menjadi marak.

Segala usia mewarnai kumpulan ini.
Berbagai intellectual terus berkumandang dengan estafet.
Dari skala ringan sampai skala besar menjadi ajang adu intellectual.
Aku senang … terasa bahwa pengetahuan adalah kekal.

Jarum jam menunjukkan jam dua belas siang.
Berangkatlah kami ke Candranaya, sang biduan di tengah dinamika perkembangan suasana kota yang metropolis yang selalu berpolitis.
Masih hidup seperti dulu.

Harapan hanya bisa menatap dari atas jembatan penyebrangan mewabah semua instrument keadaan pikiran kami ber 15 orang kurang lebih.
Sungguh gempita hati ini disaat seorang Martin bersama Alex menerobos masuk dengan gaya diplomatisnya yang tidak pernah bisa ku bayangkan.

Kaki berbalapan dan senyum melebar menghias pelarian ku menghampiri kendaaraaan yang tadinya ku berpikir kalau tidak mungkin ku bisa mengambil gambar dan paling tidak hanya membangunkan kesedihan yang sangat mendua dalam dunia.

Bagaimana tidak kawan?
Awal sekolah apoteker pertama di Indonesia berawal dari sana.
Awal pendirian rumah sakit juga berawal dari kongko di gedung sakit tersebut.
Awal pendeklarisian merah putihnya tionghoa sehidup semati terhadap NKRI berawal juga disana.

Masuklah kami kedalam nya,
Suasana haru menghias dalam setiap tapak kaki melintas lapisan semen penuh dengan pasir hasil perkerjaan sipil yang telah usang bercampur debu2 kehidupan.
Berpencar kami semua.

Aku berlari mengejar pintu gerbang.
Seolah ku sedang bertuan pada kakek moyang ku yang mengabdi pada negri.
Guratan nyata masih menyinar ...
Sampai keruangan tengah …

Luar biasa … gelap … tidak berbau sedap
Ornament ornamen kejayaan ukiran yang kurasa ada makna menghias di dinding setiap pintu.
O waktu .. .terimakasih kau telah memberikan kami waktu untuk kembali melihat jejak sang leluhur yang mengabdi pada negri.

Seolah janji dan sumpah mu masih kurasa kemarin.
Terpancar sedih melintas di wajah seorang budayawan Budaya tionghoa,
Berasa seperti kemarin dia melintas pada kehidupan terdahulunya.

Masih bisa kurasa kalau kau bilang sedih kawan.
Masih bisa kumengerti kalau kau bilang benci kawan.
Aku pun merasa demikian.

Sang waktu maha adil, tidak pernah meninggalkan pengikutnya yang setia.
Malah sang pengikut yang sering meninggalkan waktu dan berpaling pada keindahan dari negeri 4 july sebagai hari merdekanya.

Selesai sudah kami disana,
Cukup lama kami ber cerita sampai lidah tidak lagi bersahabat.
Lebih dari dua batang rokok ku habiskan hanya untuk membuat diriku dan angan2ku puas atas keindahan surga dunia budaya.

Setelah itu kami ke Tepekong petak sembilan.
Tempat dimana pertama kali tionghoa membuat kelenteng hanya untuk melepas kerinduan pada tanah leluhur yang tidak pernah mungkin akan kembali di cintai.
Sekaligus menghampiri dan berduduk bersipu lapar disaat hari menjelang sore.
Bernuansa keteduhan gereja tua yang ber aroma etnik tionghoa
Gelak tawa menghias … seduhah kopi bergumul lidah tidak bertuan.

Nasihat dan petuah bahu membahu membentuk kajian intellectual untuk membangun saling mencintai sesama generasi yang berhamburan pengalaman dan ketajaman dalam berpikir.

O waktu …
Telah ku lihat kembali masa kejayaan mu wahai candranaya
Telah ku lihat lagi masa indahmu wahai tepekong petak sembilan
Telah ku lihat berulang kali masa keindahan penyebaran katholik dalam keharmonisan gereja siti de fatimah.

Tunggu kami
Jangan kau tinggalkan kami
Berikan kami waktu untuk mengetuk lapisan ketujuh dari bumi ini sekedar membangunkan anak nusantara untuk membangun negeri dan tidak meninggalkan budaya kami sendiri.

Bertahanlah wahai candranya
Tanpamu Indonesia tidak akan pernah ada dan
Kami pun tidak akan pernah terlahir.

No comments: